Friday, April 26, 2013

Narasi Sepak Bola

Narasi Sepak Bola
Sepakbola adalah olahraga paling popular yang pernah dikenal umat manusia. Saat ini sepakbola bukan sekadar tinggal menjadi olahraga karena ternyata perkembangannya sudah melampaui batas-batas yang pernah dipikirkan oleh para pelaku olahraga itu, katakanlah, lima puluh tahun lalu. Sebuah universitas di Inggris bahkan membuka mata kuliah berjudul Beckhamologi. Isinya bukan sekadar membahas mengenai perkembangan karir David Beckham, sang kapten tim nasional Inggris, tetapi mendalami olahraga sepakbola sebagai sebuah fenomena industri. Dan David Beckham adalah ujung tombak perkembangan industri tersebut. Sebagai gambaran perkembangan industri sepakbola, bisa dilihat misalnya dari potongan rambut David Beckham yang setiap kali berganti, selalu diikuti oleh para penggemarnya, dan dibahas di majalah-majalah mode. David Beckham tak bisa lagi dilihat semata-mata sebagai seorang pemain sepakbola, melainkan sebuah ikon, dan sebuah mata dagang yang luar biasa. Bahkan sebuah museum di Eropa menayangkan sebuah media audio-visual yang menggambarkan Beckham sedang tidur! Beckham adalah komoditi! Dan Beckham tak sendirian. Contoh lain misalnya Hideo Nakata asal Jepang. Ketika ia bermain di klub AS Roma di Italia, tiba-tiba kaos kostuk AS Roma bernomer punggung 7 dengan nama Nakata laku keras di Jepang.
Tulisan ini tak bermaksud untuk membahas perkembangan sepakbola sebagai sebuah industri, melainkan satu aspek saja: sebagai sebuah tontonan. Kemajuan industri sepakbola tak bisa dilepaskan dari dukungan industri tontonan (baca: televisi) dalam mempromosikan olahraga ini menjadi konsumsi massal yang berhasil mengatasi sekat-sekat gender, usia, kelas social dan sebagainya. Final kejuaraan dunia --yang nama resminya adalah FIFA World Cup-- merupakan mata acara yang paling banyak ditonton secara langsung di seluruh dunia. Ini sekadar contoh saja. Belum lagi bagaimana terjadinya pola perubahan perilaku dan budaya akibat “serangan” tontonan sepakbola. Contoh mudahnya, coba tengok betapa kini penggila bola di Indonesia menjadi akrab dengan istilah dari bahasa Italia seperti attacante, rosso-neri, dan sebagainya gara-gara ramainya tayangan Liga Italia di televisi.
Mengapa tayangan sepakbola di televisi mampu membawa penonton sedemikian rupa terlibat di dalamnya? Tentu tak terlepas dari kepopuleran olahraga itu sendiri. Namun sebagai sebuah tontonan, ada hal yang menarik melihat bagaimana pengemasan olahraga ini menjadi sebuah komoditi tersendiri. Dan proses seperti apa yang sebenarnya dialami oleh penonton televisi dalam menonton sepakbola.
Para penggemar olahraga sepakbola percaya sekali bahwa tak ada yang mampu mengalahkan sensasi menonton pertandingan sepakbola secara langsung di stadion. Menonton sepakbola di stadion adalah sebuah ritual yang tak tergantikan, sekalipun dengan menonton siaran langsung sepakbola tersebut di televisi. Sebagai contoh saja, lembaga penyiaran publik di Denmark, DR, pernah mengadakan sebuah survei kecil-kecilan terhadap penonton sepakbola. Mereka diminta membandingkan sebuah rekaman tayangan sepakbola. Kemudian mereka diminta menjawab rangakaian pertanyaan. Isi pertanyaan itu berupa ukuran-ukuran untuk membandingkan seberapa dekat sensasi yang didapat dari menonton sepakbola di tayangan tersebut dengan yang mereka tonton secara langsung di stadion. Ternyata hasilnya para penonton ini menjawab bahwa menonton di televisi jauh sekali perbandingan sensasinya dengan menonton langsung. Yang mengejutkan ternyata adalah bahwa dari riset ini diketahui bahwa mendengarkan siaran sepakbola di radio lebih dekat sensasinya ketimbang menontonnya di televisi. Entah mengapa. Mungkin karena radio lebih memungkinkan bangkitnya imajinasi yang tak terbatas yang membuat sensasi lebih terpacu.
Namun bukan perbandingan radio dan televisi yang penting di sini. Yang penting justru adalah usaha televisi untuk bisa menggantikan fungsi menonton sepakbola langsung di stadion. Di manakah letaknya usaha televisi menghadirkan sebuah tontonan yang luar biasa bagi penonton?
Sebuah pertandingan sepakbola adalah sebuah spectacle-ship, sebuah tontonan langsung yang bersifat dua dimensi. Ia bagaikan sebuah panggung, dimana daya lihat penonton terbatasi oleh adanya dinding virtual, dinding yang tak terlihat, yaitu tempat mereka semua duduk. Di dinding virtual inilah para penonton menikmati sebuah sajian yang berlangsung di depannya. Pertunjukan tersebut bersifat dua dimensi karena hanya memungkinkan pergerakan dua dimensi, ke kanan dan ke kiri. Pemain yang berada di sisi kiri lapangan, ketika maju, bagi penonton mereka bergerak ke kanan. Sedangkan pemain di sisi kanan ketika bergerak ke depan, mereka ke kiri penonton yang sama. Sedangkan bagi penonton di sebrangnya, pergerakan tersebut tinggal diubah. Pemain di kiri, bergerak ke kanan ketika maju dan pemain kanan bergerak ke kiri ketika mereka maju. Tetap gerakan ke samping memang, dan gerakan ke samping ini sedikit banyak bersifat tiga dimensi. Namun keberadaan dinding virtual ini menyebabkan penonton dan pemain memiliki batas yang jelas. Pergerakan pemain tak akan pernah bisa menembus dinding keempat ini. Mereka tetap berada di “panggung” yang terpisah dari lingkungan penonton.
Nah, sifat dua dimensi dari pertandingan sepakbola di stadion diimbangi dengan adanya manipulasi lingkungan penonton. Penonton tak akan pernah menonton sepakbola sendirian. Dengan adanya ribuan atau bahkan puluhan ribu penonton, ada semacam pengendalian lingkungan yang menjadi pendahulu dari kegiatan menonton sepakbola. Misalnya penggunaan atribut-atribut sepakbola adalah semacam kegiatan memasuki ritual, yang mirip dengan kesiapan seorang penonton film sebelum memasuki bioskop. Dengan adanya kesiapan akan lingkungan pertunjukan, para penonton sepakbola, sebagaimana penonton bioskop bersiap memasuki ruangan bioskop yang gelap. Situasi psikologis ini sama.
Kemudian manipulasi lingkungan. Pada penonton bioskop ia berada di dalam ruang yang gelap dan tata suara yang baik. Dengan demikian konsentrasi bisa berlangsung lebih intens dan kegiatan menonton menjadi sebuah kegiatan primer yang nyaris tak terselingi kegiatan lain. Semantara dalam pertandingan sepakbola, keberadaan ribuan atau puluhan ribu penonton lain adalah manipulasi lingkungan dalam bentuk kolektivitas. Seorang penonton bisa menghilang dalam kolektivitas yang mengambil bentuk dukungan terhadap salah satu tim yang sedang bermain. Kolektivitas ini bahkan bisa mengambil bentuk kebersamaan yang absurd, misalnya dalam teriakan yel-yel dan gerakan semacam Mexican Wave. Para penonton yang sebenarnya relatif tak terorganisir dan tak saling mengenal, bisa seakan menjadi sebuah kelompok yang tertata dengan baik, seiring dengan perkembangan permainan di lapangan dan bentuk-bentuk pemberian dukungan maupun kekecewaan. Penonton bisa berteriak bersama-sama meneriaki ‘wasit goblok’ misalnya ketika mereka tak puas terhadap kepemimpinan wasit -- seperti para penonton di Indonesia. Atau bisa juga mereka sama-sama bersorak dan bertepuk tangan untuk sebuah penyelamatan gemilang yang dilakukan oleh penjaga gawang terhadap sebuah tembakan yang sangat baik.
Kolektivitas ini tak akan tergantikan dan menjadikan menonton sepakbola memiliki sensasi luar biasa. Penonton sepakbola di stadion akan berada dalam kondisi semi trance dalam mengikuti perkembangan permainan. Bahkan bisa saja dua orang pemain yang tak saling mengenal bisa berpelukan ketika kesebelasan yang sama-sama mereka bela berhasil memasukkan bola ke gawang lawan mereka. Mereka menjadi satu kesatuan yang larut oleh permainan ini. Inilah prinsip spectacle-ship.
Kemudian bagaimana kelebihan pertandingan sepakbola ini dipindahkan ke televisi? Dan bagaimana hal ini dapat mendukung industri sepakbola? Sedikitnya ada beberapa hal yang membedakan menonton sepakbola di stadion dengan menonton sepakbola di televisi. Pada dasarnya sebuah pertandingan sepakbola di televisi bersifat tiga dimensi, berubah dari karakternya di stadion yang bersifat dua dimensi. Dari sini, muncullah beberapa hal penting seperti narasi, karakterisasi dan plot serta extended-time.
Tiga dimensi
Layar televisi adalah bidang datar, sementara stadion adalah sebuah ruangan; bagaimana bisa sebuah bidang datar ini malahan bersifat tiga dimensi sementara ruangan malah dua dimensi? Sifat tiga dimensi layar televisi adalah pada kemampuannya menangkap gambar tidak hanya kanan-kiri melainkan juga ke samping. Siaran sepakbola di televisi menempatkan kamera sangat banyak sehingga mampu menangkap gambar dari berbagai sudut. Pada pertandingan-pertandingan liga sepakbola di negara-negara Eropa, stasiun televisi menempatkan sembilan hingga empatbelas kamera untuk meng-cover berbagai gerakan pemain. Coverage gerakan ini tidak hanya coverage dari sudut pandang mata penonton yang berada di stadion, tetapi juga dari jarak-jarak yang lebih dekat. Dengan demikian, penonton bisa mengikuti pergerakan-pergerakan secara lebih jelas, perubahan-perubahan posisi dapat diamati dengan nyaris tak berjarak, bahkan ekspresi pemain-pemain bisa ditampilkan dengan kejelasan luar biasa seakan penonton berhadapan langsung dengan pemain-pemain tersebut.
Dengan adanya berbagai kamera dalam sebuah liputan sepakbola ini, maka biasanya berlaku prinsip-prinsip dalam sebuah tayangan yang memiliki narasi. Gambar-gambar di kamera itu dibagi dalam main-shot atau master-shot atau gambar utama yang menjadi batang tubuh cerita tersebut. Kemudian beberapa kamera lain yang memuat gambar-gambar dari jarak lebih dekat dan memberi gambaran lebih detil, akan menjadi cover-shot yang menutupi lubang-lubang dalam main-shot ketika peristiwa yang terjadi di lapangan terlalu menegangkan untuk dilihat dari jarak jauh. Prinsip ini adalah prinsip storytelling atau prinsip penceritaan yang biasanya digunakan oleh para sutradara dalam menyusun cerita mereka di layar. Dengan demikian, sesungguhnya telah terbentuk narasi dalam format paling sederhana di layar ketika sebuah pertandingan sepakbola sedang berlangsung. Dari narasi ini, apa saja implikasinya terhadap pentonton?
Plot
Pertandingan sepakbola di televisi kemudian memiliki semacam plot dengan adanya kemampuan televisi menghadirkan narasi sederhana itu. Tentu jangan Anda bayangkan plot sebagaimana Alfred Hitchcock membuat plot untuk North By Northwest atau Psycho. Ini adalah plot sederhana yang mungkin terbagi menjadi adegan demi adegan yang juga sederhana. Penguasaan bola oleh satu kesebelasan agak mirip dengan pembuka adegan. Kemudian perkembangan adegan berjalan sangat natural. Dapat dikatakan adegan tersebut berakhir dengan matinya bola tersebut. Bola menjadi mati apabila keluar lapangan atau terjadi pelanggaran dan wasit meniup peluit menyatakan bahwa bola harus ditendang oleh pihak pemain yang dilanggar. Atau bisa juga adegan tersebut berakhir dengan terjadinya gol. Apabila pelanggaran yang terjadi, maka tendangan bebas yang diberikan oleh wasit adalah kelanjutan dari adegan tersebut.
Karakter
Selanjutnya dalam pertandingan sepakbola yang disiarkan oleh televisi, muncul karakterisasi. Para pemain berubah menjadi memiliki wajah. Bukan berarti para pemain selama ini tak ada wajahnya, tetapi para pemain dapat dilihat dari jarak dekat. Ekspresi mereka tampak dengan jelas dan nyata. Penonton dapat melihat bagaimana para pemain ini berekspresi terhadap jalannya pertandingan. Ini bagaikan para aktor/aktris film yang sedang berakting di depan kamera. Tentu saja mereka tidak berakting, atau bermain jadi diri mereka sendiri. Namun dari sini kita bisa menyaksikan dengan baik bagaimana misalnya Roy Keane bereaksi terhadap permainan. Atau bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh David Beckham ketika ia habis dilanggar oleh pemain lawan. Atau dapat juga dengan jelas terlihat sikap tenang Zidane menghadapi kesempatan tendangan penalty yang diberikannya.
Dengan ini semua, pemain-pemain bola ini bukan titik-titik atau garis-garis kecil di lapangan dengan nomer punggung yang kelihatan samar-samar. Mereka menjadi pemain dengan ketrampilan dan wajah yang utuh, yang bisa disaksikan dengan jelas. Mereka adalah tokoh-tokoh yang hidup yang bisa dilihat dan diikuti segala macam luapan emosi mereka dalam permainan. Dengan demikian pertandingan sepakbola menjadi sesuatu yang penuh emosi. Luapan-luapan emosi ini tidak hanya tertinggal di lapangan, melainkan juga dapat disaksikan langsung oleh penonton pertandingan tersebut yang jaraknya mungkin ribuan kilometer dari stadion tempat pertandingan itu berlangsung. Misalnya, ketika Wayne Rooney mencetak gol ke gawang Swiss dalam pertandingan penyisihan Euro 2004, penonton dapat melihat bagaimana luapan emosi Rooney ketika ia melonjak-lonjak sambil mencabut tiang sudut dan menginjak mikrofon teve.
Extended time
Extended time yang saya maksud bukan perpanjangan waktu. Extended time ini adalah waktu yang memanjang. Maksudnya, dalam kejadian nyata, waktu tersebut misalnya berlangsung hanya satu detik, tetapi dalam film, waktu satu detik itu digambarkan lebih dari satu detik dengan menggunakan teknik editing gambar yang berpindah-pindah. Saya kasih contoh, misalnya dalam adegan bom waktu yang akan meledak. Di layar digambarkan bahwa waktu hanya tinggal satu detik, misalnya terlihat angka jam digital bom tersebut menunjukkan 00:00:01, dari hitungan mundur. Adegan berikutnya tidak langsung berupa ledakan bom tersebut, melainkan adegan orang yang sedang menyingkir dari lokasi bom itu. Kemudian ditambah lagi dengan adegan di luar gedung, dimana orang-orang mulai menyingkir. Barulah adegan selanjutnya adalah ledakan yang diambil dari luar gedung dengan gambar api ledakan ditambah orang-orang yang terpental. Biasanya ini terjadi dalam gerakan lambat (slow motion).
Dari cerita saya ini bisa dilihat bahwa waktu yang dalam kehidupan nyata berlangsung satu detik, ternyata bisa lebih panjang dalam film. Kegunaannya tentu agar terjadi efek dramatis yang lebih hebat daripada kenyataan. Hal ini selalu ada dalam film dan biasanya digunakan dalam film-film ber-genre film laga (atau sebut saja action). Apakah dalam pertandingan sepakbola di televisi juga terjadi extended time semacam itu? Bukankah tidak ada slow motion dalam sepakbola kecuali untuk tayang ulang? Memang sebenarnya tidak ada, sehingga extended time ini harus diletakkan dalam tanda kutip menjadi “extended time”.
Meskipun dalam tayangan pertandingan sepakbola, tidak ada perbedaan dalam waktu nyata dan waktu tayang, tetapi ada prinsip serupa yang digunakan oleh sebuah tayangan sepakbola. Saya ambil contoh tendangan penalty. Perhatikan bagaimana tayangan sepabola pada saat akan terjadi tentangan penalty. Biasanya gambar di layar teve kita berpindah-pindah. Pertama gambar dari jauh pemain meletakkan bola di titik putih, sementara penjaga gawang bersiap. Kemudian close-up ke wajah pemain yang akan menendang, pindah close-up ke bola yang akan ditendang, pindah close-up ke penjaga gawang yang sedang menantikan momen dahsyat itu. Kemudian gambar dari jauh lagi ketika si pemain mengambil ancang-ancang, dan kemudian menembak. Misalkan terjadi gol, maka si penendang akan bersorak, disorot dari jarak dekat oleh kamera. Mungkin si penendang itu mengepalkan tinju sambil berteriak sementara rekan-rekan satu timnya mengerubunginya, atau bahkan melompat ke arahnya. Sebentar saja mereka tampil di layar, karena layar akan segera diisi dengan gambar penjaga gawang yang sedang meratapi gawangnya yang berhasil ditembus. Lantas diputar ulanglah adegan gol tadi dari berbagai sudut.
Nah, sekalipun waktu nyata dan waktu tayang dalam adegan tendangan penalti itu tidak ada perbedaan, tetapi perhatikan bahwa struktur ‘penceritaan’ dalam tendangan penalti ini nyaris serupa dengan struktur ledakan bom pada film action yang saya ceritakan di atas. Terjadi perpindahan shot demi shot guna menciptakan efek dramatis yang lebih tinggi ketimbang kita hanya menyaksikan dari satu sudut pandang saja. Dengan demikian, prinsip ‘extended time’ ini digunakan sebaik-baiknya oleh para produser tayangan langsung sepakbola di televisi.
Dramatisasi
Dramatisasi, inilah kunci dari pertandingan sepakbola di televisi. Untuk mengimbangi situasi emosional dan manipulasi lingkungan sebuah pertandingan di stadion, para pengelola siaran langsung sepakbola televisi mengimbanginya dengan dramatisasi. Dengan dramatisasi ini, terjadilah manipulasi mental yang mungkin berimbang dengan manipulasi lingkungan dalam menonton langsung pertandingan sepakbola di stadion. Tentu hal ini dimungkinkan dengan dua prasyarat : adanya teknologi yang mencukupi, yaitu dengan penempatan kamera yang cukup banyak untuk meng-cover berbagai sudut lapangan ; dan adanya ketrampilan yang memadai para awak siaran langsung sepakbola di televisi untuk mendapatkan gambar dan melakukan ‘editing’ yang memadai di layar kaca kita sehingga efek dramatis itu bisa tercipta. Hanya dengan dua prasyarat inilah sebuah pertandingan sepakbola di televisi bisa sangat menarik.
 

0 comments: